
Jakarta – Kementerian Kesehatan mewacanakan perpanjangan kontrak katalog obat sebagai alternatif dalam penyiapan, perencanaan produksi, dan pemenuhan obat-obatan nasional pada tahun anggaran 2017. Wacana ini diusulkan menyusul langkah Kementerian Kesehatan dalam memberikan kepastian pasokan obat nasional.
Menanggapi wacana tersebut, Kepala LKPP Agus Prabowo menjelaskan bahwa perpanjangan dan pemberlakuan kontrak katalog dengan tenor hingga 2-3 tahun dapat saja diterapkan. Namun, lanjut Agus, hal ini akan berimplikasi pada penawaran penyedia yang ditetapkan lebih tinggi. Hal ini merujuk pada langkah antisipasi mereka akan potensi kenaikan harga bahan baku dan tingkat inflasi. ”Ini bisa, Bu, secara pengadaan. Ini bisa, tetapi yang harus kita perhitungkan adalah risiko penawarannya. Sebab, kalau masa kontrak diperpanjang, penawaran mereka pasti hedging dan risikonya harganya akan lebih mahal,” terang Agus.
Untuk itu, Agus mengusulkan diterapkannya mekanisme pasar terbuka untuk komoditas obat. mekanisme pasar terbuka bagi produsen obat, menurutnya, dapat memberikan alternatif dalam memperluas ketersediaan dan memperkuat rantai pasok pemasaran obat. ”Apa yang dibuka? Kapasitasnya, harganya, maupun delivery sistem-nya,” ujar Agus. Artinya, produsen obat dituntut untuk mencantumkan kemampuan produksinya dan bebas menetapkan harga jual produknya.
Dalam mencegah terjadinya permainan harga obat, pemerintah—melalui Kementerian Kesehatan—perlu menetapkan regulasi terkait dengan penentuan besaran harga. Hal tersebut dapat berbentuk penerbitan kebijakan yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) atas masing-masing obat. Jadi, meskipun bebas menetapkan harga produk obatnya, produsen hanya dapat mengajukan harga sesuai dengan koridor harga yang ditetapkan pemerintah.
Di sisi lain, untuk membangun pasar yang semakin sehat, Agus mengusulkan dibentuknya sistem pasar berbasis daring (market place) yang khusus ditujukan untuk komoditas obat. Melalui mekanisme ini, pemerintah dapat memberikan keleluasaan kepada produsen obat untuk menjual produknya dengan tetap memperhatikan kebijakan-kebijakan pemerintah. “Ya kalau mau menjual produk, jualan sendiri-lah kalau perlu. Nanti kita tinggal meng-adopt sehingga pasarnya semakin luas. Jadi, yang kami bangun adalah market place-nya,” ujar Agus.
Menanggapi terjadinya isu kartel di dalam penyediaan dan suplai obat, Agus mengungkapkan bahwa setiap penyedia telah diikat dalam kontrak katalog terkait dengan komitmen mereka dalam menyediakan produknya. “Terikat kontraknya tuh begini, manakala dia diorder (atau) dipesan kemudian tidak bisa deliver maka dia harus dipenalti. Jadi, yang diarisankan (kartel-red) itu sudah berkurang. Apa yang mau diarisankan? Wong, harganya mereka yang membuka sendiri kok,” pungkas Agus.
Sebelumnya, Sekretaris Jendral Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang menjelaskan bahwa proses penyiapan hingga produksi obat memerlukan waktu 3—6 bulan. Sementara itu, untuk proses pendistribusian, pihak produsen memerlukan waktu setidaknya 1—2 bulan. “Nah, artinya di dalam hal ini diperlukan ketepatan RKO pertimbangannya, production leadtime, dan import leadtime sehingga 3—6 bulan ini merupakan leadtime untuk bisa sampai kepada satker,” ujar Linda.
Merujuk pada pembabakan waktu ideal (idle timeline) yang disusun Kementerian Kesehatan, Linda menerangkan bahwa periode perencanaan yang dibuat pemerintah seharusnya dapat diselesaikan pada awal Juni sebelum tahun anggaran. Sementara itu, penetapan putusan pemenang pengadaan obat hingga penayangan seharusnya dapat diselesaikan pada bulan Oktober. ”Karena kepastian akan pemenang dan kebutuhan itu sangat diperlukan kemudian industri dapat bisa mulai persiapan produsksi; selama 3-6 bulan mulai memesan bahan baku,” tutur Linda pada saat rapat terbatas di kantor Kementerian Kesehatan, Jumat (11/11).
Oleh sebab itu, menyusul akan berakhirnya kontrak katalog obat pada akhir 2016 dan April 2017, Kementerian Kesehatan mewacanakan perpanjangan kontrak katalog hingga Desember 2017. Hal ini, menurut Linda, bertujuan untuk menghindari kekosongan obat serta menjamin pendistribusian dapat berjalan lacar dan berkesinambungan.
Sebelumnya, per tanggal 29 September 2016, Kementerian Kesehatan telah mengusulkan 107 item peket negosiasi dan 93 item paket lelang tambahan untuk daftar obat yang belum masuk di dalam formularium nasional. Di samping itu, Kemenkes juga telah mengirimkan 423 item paket negosiasi dan 336 item paket lelang untuk daftar obat yang telah ditayangkan di e-katalog. (eng)
Sumber : http://www.lkpp.go.id/