
Pemerintah dituntut melakukan peningkatan daya saing sektor jasa konstruksi nasional melalui penerapan pekerjaan berbasis rancang bangun (design and build) dan perbaikan ekosistem industri konstruksi di Indonesia.
Iklim kompetisi yang semakin terbuka akibat penerapan pasar bebas, representasi dan komposisi kontraktor besar dan kecil yang belum ideal, kompetensi yang masih rendah, hingga penerapan skema pekerjaan berbasis design bid build yang menurunkan tingkat partisipasi swasta, perlu menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan pembenahan di sektor ini.
Apalagi, Indonesia merupakan pasar konstruksi terbesar di tingkat regional ASEAN. Selama ini, Indonesia mengalokasikan 4-5% PDB atau ekuivalen Rp350-450 triliun. Sementara itu, pemerintah menetapkan RPJM 2015-2019 pada sektor infrastruktur sebesar Rp5.519 triliun.
Menilik pada iklim kompetisi sektor jasa konstruksi pada proyek-proyek pemerintah, Guru Besar ITB Rizal Z. Tamin menilai ada ketimpangan partisipasi antara BUMN dan swasta. Pengerjaan proyek infrastruktur pemerintah saat ini masih didominasi oleh BUMN.
Menurut Rizal, sektor privat kurang meminati model investasi berbasis design bid build yang saat ini banyak diterapkan pemerintah Indonesia karena adanya masalah fragmentasi yang mengerucut pada persoalan kontinuitas pelaksanaan pekerjaan.
“Dan tadi sudah diingatkan, swasta itu kalau investasi selalu pakai design and build, tidak mau pakai design bid build karena itu (design and build-red) pasti akan lebih efisien. Jadi kalau mau ada investor, itu harus pindah kepada design and build,” ujar Rizal pada acara diskusi panel bertema “Akuntabilitas dan Regulasi Kontrak Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang bangun, di Bandung beberapa waktu yang lalu.
Secara umum, Rizal menyebut ada enam kasus fragmentasi yang menjadi tantangan jasa konstruksi di Indonesia, yang mencakup fragmentasi vertikal, fragmentasi horizontal, fragmentasi manajemen proyek, fragmentasi antar-kementerian, fragmentasi pemerintahan, dan fragmentasi tahun anggaran.
Ia mencontohkan, dalam praktik industri konstruksi di sektor pemerintah saat ini, rantai suplai bahan baku antara kontraktor dan produsen sering kali tertahan akibat serah-terima antarpihak yang rumit. “Dalam konteks life cycle dari feasibility study, terus pindah ke detail engineering, terus pindah ke construction operation itu juga terpotong-potong. Bahkan sering diulang. Itu sumber dari inefisiensi,” ujar Rizal.
Di sisi lain, keadaan lapangan yang tidak sesuai dengan desain acapkali memicu hubungan yang tidak baik di antara pemilik, kontraktor, dan konsultan. Padahal, sinergi dan kerja sama yang positif sangat diperlukan dalam membangun iklim jasa konstruksi yang berdaya saing.

Sementara itu, Kepala LKPP Agus Prabowo mengungkapkan bahwa selama ini tata cara dan mekanisme rancang bangun belum diatur secara rinci di dalam peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebab, alokasi APBN dan APBD pada sektor jasa konstruksi di lingkungan K/L/D/I selama ini cenderung tidak menggunakan skema rancang bangun. Hal ini karena proyek infrastruktur yang dimiliki K/L/D/I merupakan pekerjaan yang tidak kompleks. Kalaupun ada pekerjaan berskema rancang bangun, lanjut Agus, itu merupakan proyek pekerjaan hasil subsidi pemerintah pada BUMN besar, seperti PLN dan Pertamina.
”Yang kedua, (skema rancang bangun) harus diikat di dalam kontrak. Oleh karena itu, pasal-pasal yang mengatur adalah pasal pasal kontrak,” ujar Agus.
Menurutnya, segala bentuk klausul yang disepakati di antara para pihak harus diikat di dalam kontrak. Perikatan yang menyangkut cara pembebanan biaya, sumber pendanaan, cara pembayaran, dan sifat pekerjaan ini agar memberikan keleluasaan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Agus menekankan, kunci sukses pengadaan, termasuk dalam pekerjaan rancang bangun, adalah ketelitian dan kejelian di dalam penyusunan kontrak. Untuk itu, kontak pekerjaan harus bersifat jelas, rinci, detail, dan terukur agar tidak menimbulkan penafsiran lain yang dapat menjadi potensi konflik kepentingan.
“Kunci suksesnya ada di mana? Pengadaan itu ada prinsip “the devil in the detail”. Jadi, hantu pengadaan itu ada di detail dan kalau kita tidak bisa menaklukkan detailnya kita akan berhadapan dengan hantu sesungguhnya.”
Sayangnya, ungkap Agus, konsepsi pekerjaan rancang bangun—dalam praktik di Indonesia—bergeser dari pekerjaan yang kompleks menjadi pekerjaan yang terdesak waktu. Hal ini dianggap tidak ideal dan rawan terjadi konflik kepentingan.
Menurut Agus, konsep rancang bangun justru sangat cocok diterapkan pada pekerjaan yang memiliki faktor ketakterdugaan yang tinggi. Sebab, penambahan beban pekerjaan konstruksi yang muncul akibat kondisi lapangan yang tidak terduga dapat didesain dan dikerjakan pada saat itu pula tanpa perlu melakukan adendum kontrak. “Saya kasih contoh, design and build itu ideal kalau di dalam pekerjaannya demikian kompleks sehingga faktor ketakterdugaannya tinggi. Contoh, proyek MRT Jakarta,” ujar Agus.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, Rizal menyebut konsep value for money tidak lagi merujuk pada produktivitas dan efisiensi. Pasalnya, efisiensi dalam pekerjaan konstruksi selalu memiliki batas marginal yang berkaitan erat dengan keterbatasan sumber daya.
“Karena efisiensi terbatas (dan) resource terbatas. Tumpuan yang lebih besar ke depan yang dapat membangun landasan dari rancang bangun adalah kreativitas dan inovasi karena basisnya adalah pengetahuan. Di situ letak dari kekuatan kita. Inovasi dan kreativitas harus menghasilkan nilai tambah yang mengalahkan semua fragmentasi,” ujarnya.
Namun, lanjut Rizal, menciptakan kreativitas dan inovasi juga memerlukan kolaborasi lintas disiplin ilmu, misalnya melalui kolaborasi yang positif antara kontraktor dan konsultan. Pada akhirnya, ia menekankan, seluruh upaya membangun daya saing sektor jasa konstruksi sangat ditentukan oleh etika kerja seluruh pihak yang terlibat.
“Berbagai bidang ilmu berkumpul. Berbagai masalah memunculkan kreativitas dan inovasi, tapi landasannya satu: etikanya harus tinggi. Kita ingin menghasilkan gagasan, bukan kita ingin berkolusi,” pungkasnya. (eng)

Sumber : http://www.lkpp.go.id/